Rabu, 26 Desember 2012
Yaris Putih
Dulu, waktu gue masih jualan kebab, gue benci banget sama mobil Yaris. Bentuknya kayak kodok. Dan gue benci kodok. Apa iya bentuknya kayak kodok? Haha, mulai absurd ya? Dan ternyata postingan ini akan absurd selamanya kalau gak gue terusin.
Rabu, 19 Desember 2012
Makan Tulang itu Gak Berarti Nggragas
Gue kalo makan ayam negeri, hampir bisa dipastikan tulang2nya habis (kemakan sama gue). Tergantung seberapa keras tulang itu. Kalo gigi gue masih bisa ngunyah, gue bakalan embat itu tulang. Ini yang gue omongin bukan ayam yang dipresto lho ya...tapi ayam yang dimasak konvensional. Temen-temen gue bilang gue nggragas. Gue malah nganggep ini sebagai tanda bersyukur. Lha iya dong, Tuhan menciptakan setiap makhlukNya kan pasti ada manfaatnya. Dan kalau suatu hewan (masa bodo dgn grammar) sudah ditetapkan halal, artinya tulangnya pun ikut halal. Kalau ada yang halal, dan bisa dimakan, ngapain dibuang? Bukankah membuang sesuatu yang bisa dimakan itu tanda gak bersyukur? Tapi gue gak mau nyalahin sebagian besar orang yang gak mau makan tulang lho ya...Yang gue salahin (baca: gue gak sependapat sama sekali) adalah orang yang gak mau makan kepala, ceker, atau bagian tertentu dari hewan yang halal, tapi dia menyertakannya waktu beli dan masak. Harusnya kalau gak mau (baca: gak doyan) itu waktu beli bilang dong sama penjualnya, biar gak disertakan. Jadi setelah masak gak ada yang disisain. Balik lagi ke tulang tadi. Tulang itu sebenarnya kan mengandung gizi yang lumayan juga. Setahuku sih ada kalsium, fosfor, dan lain-lain gitu deh (haha, sori gue udah lama gak bahasa biologi). Artinya, dengan makan tulang, tulang kita bisa kuat tanpa minum Anl*ene atau produk-produk lain yang katanya menjaga kesehatan tulang. Jadi, sampai sekarang gue masih berpendapat kalau makan tulang itu gak berarti nggragas. Ayo, yang merasa giginya masih kuat buat 'ngremus' tulang, makan tulang yuk. Tapi jangan sampai waktu beli kita pesan tulangnya doang lho ya...jangan sampai juga kita jadi kucing yang memelas minta tulang sama orang lain.
Selasa, 18 Desember 2012
Kemana mereka pada 2015?
Gue penasaran gimana nasib antena-antena pemancar televisi swasta ini kalau udah diterapkan undang-undang tentang keharusan menggunakan TV digital pada 2015 nanti.
Hercule Poirot
Kadang gue pengen menjadi seorang detektif sekelas Hercule Poirot. Bukan pribadinya yang sombong yang gue tiru. Tapi kejeliannya pada posisi dan kondisi suatu barang, pada mimik wajah seseorang, pada masa lalu seseorang, yang lalu diracik sedemikian rupa untuk menemukan mata rantai yang hilang dari kronologi kasus. Meskipun cuma tokoh imajinasi, 'kharisma'nya sebagai seorang detektif ulung masih belum tertandingi sampai sekarang. Film-film tentang dia pun tidak mampu mengejawantahkan karakter pria dengan deskripsi tubuh kecil dan pendek itu. Memang sih, film sehebat apapun rasanya tidak ada yang bisa menerjemahkan imajinasi pembaca secara persis. Apa karena film tidak bisa sehebat buku? Gue rasa tidak. Karena buku yang rilis duluan, sehingga pembaca kadung punya imajinasi masing-masing? Mungkin iya. Bagaimana tidak, film yang disebut "based on novel..." pasti ada karena si novel berhasil booming. Kalau dikatakan booming itu terjual 50 ribu eksemplar, misalnya, bukankah ada 50 ribu imajinasi? Karena konon katanya satu pembaca satu imajinasi. Itu kalau pembacanya beli sendiri novelnya. Lha kalau pinjem. Pinjem teman sih paling 3-5orang per novel. Lha kalau pinjem di perpustakaan. Belum lagi pembaca yang membacanya lewat ebook yang link downloadnya ada ratusan di internet. Bayangin, berapa banyak imajinasi yang tercipta dari sebuah buku. Makanya, satu film tidak akan bisa menerjemahkan ribuan imajinasi itu. Siapapun sutradaranya. Siapapun pemainnya. Tapi, kalau kondisi ini dibalik, yang terjadi justru si buku yang kalah. Lagi-lagi karena si film nongol lebih dulu. Dan penonton sudah kadung punya imajinasi sendiri (dan untuk kasus ini, imajinasinya pasti sama di antara jutaan penonton, ya iyalaaah...). Imajinasi yang satu ini kalau ditranslate penulis manapun, tidak akan bisa menerjemahkan apa yang ada di film. Karena, meskipun imajinasinya sama, cara setiap penonton dalam menuangkannya ke kalimat, tidak akan bisa menghasilkan rangkaian kata yang sama. Eh, gue kok jadi ngelantur terlalu jauh gini ya? Balik lagi deh ke Hercule Poirot. Gue udah jatuh cinta sama karakter ini sejak pertama kali gue baca bukunya Agatha Christie. Btw, bukunya yang pertama gue baca kalau gak salah berjudul misteri di d'lloyd atau apa gtu. Lupa gue, hehe. Gak penting ya? Sori, untuk post yang ini let it flow-nya kebangetan. Makasih udah mampir :)
Belum Mau Terikat
Jomblo itu keren. Pacaran itu gak keren. Statemen para loser? Ah, gak juga. Karena jomblo itu bukan loser. Dia justru the winner. Berhasil memenangkan ego nafsunya yang 'mendesaknya' untuk menurunkan produktivitas diri demi seseorang yang belum tentu menjadi pasangan hidupnya. Jomblo bisa jadi justru menjadi pihak yang terselamatkan oleh Tuhan. Terselamatkan dari risiko kehancuran. Loh, tapi bukankah tidak mengambil risiko itu berarti tidak berani mengambil risiko? Lagi-lagi, gak, menurutku. Pemberani hanya akan mengambil risiko yang chalenging, yang kalau risiko itu berhasil dilewatinya, dia akan berada pada maqom (ciye, bahasaku) yang terhormat. Sementara, kalau para jomblo memilih jomblo, tidak berarti dia akan kehilangan maqom yang terhormat tersebut. Jomblo itu hanya belum mau terikat. Dan bukan tidak mau.
Gembeng
Sebagian besar orang nganggep gembeng (nangisan) sebagai salah satu sifat negatif cewek. Tapi buat aku, kegembengan cewek bukan merupakan kekurangannya, justru malah menjadi kelebihannya. Aku justru pengen punya istri yang gembeng. Kenapa?
Karena menurut aku, cewek yang gembeng alias yang dikit-dikit nangis gak akan melampiaskan emosinya dengan membentak-bentak suaminya. Dan itu postif sekali untuk keberlangsungan hidup berumah tangga.
Cewek yang gembeng gak akan menjadi cewek yang ngamukan, gak akan bikin malu suami, dan yang penting gak bakalan gampang nglontarin kata putus/cerai. Kalo nangisnya udah kelar, dia nganggep seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Orang Jawa bilang “Nek wes bar yo uwes.”
Ada yang bilang bahwa cewek yang gembeng itu gak ekspresif, dan bikin si cewek cepet tua karena sering nahan marahnya, dan cenderung jadi cewek pendendam. Menurutku itu gak bener. Nangis adalah salah satu bentuk pelampiasan emosi juga. Pendendam adalah mereka yang ngambekan, minggatan, and suka gak jelas jluntrungannya.
Nangis bisa ‘disambi’ sesenggukan sambil ngungkapin unek-uneknya kepada korban tangisannya. Dan kamu tau betapa seksinya cewek dengan hidung merah yang sesenggukan di bawah pelukan suaminya?
Tapi ada catatannya, suami juga kudu bisa kontrol emosi, mentang-mentang istrinya gembeng, gak boleh bilang “Dasar cewek! Bisanya cuma nangis tok!”. Cewek yang lagi nangis tu seksi, DAN NGEGEMESIN. Tentu saja selagi si suami tu bener, dan tangis si istri itu muncul cuma karena kesalahpahaman atau kekhilafan suaminya doank, bukan karena suaminya yang jahat.
Buat cewek gembeng di Malang sana, I always love you…
Karena menurut aku, cewek yang gembeng alias yang dikit-dikit nangis gak akan melampiaskan emosinya dengan membentak-bentak suaminya. Dan itu postif sekali untuk keberlangsungan hidup berumah tangga.
Cewek yang gembeng gak akan menjadi cewek yang ngamukan, gak akan bikin malu suami, dan yang penting gak bakalan gampang nglontarin kata putus/cerai. Kalo nangisnya udah kelar, dia nganggep seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Orang Jawa bilang “Nek wes bar yo uwes.”
Ada yang bilang bahwa cewek yang gembeng itu gak ekspresif, dan bikin si cewek cepet tua karena sering nahan marahnya, dan cenderung jadi cewek pendendam. Menurutku itu gak bener. Nangis adalah salah satu bentuk pelampiasan emosi juga. Pendendam adalah mereka yang ngambekan, minggatan, and suka gak jelas jluntrungannya.
Nangis bisa ‘disambi’ sesenggukan sambil ngungkapin unek-uneknya kepada korban tangisannya. Dan kamu tau betapa seksinya cewek dengan hidung merah yang sesenggukan di bawah pelukan suaminya?
Tapi ada catatannya, suami juga kudu bisa kontrol emosi, mentang-mentang istrinya gembeng, gak boleh bilang “Dasar cewek! Bisanya cuma nangis tok!”. Cewek yang lagi nangis tu seksi, DAN NGEGEMESIN. Tentu saja selagi si suami tu bener, dan tangis si istri itu muncul cuma karena kesalahpahaman atau kekhilafan suaminya doank, bukan karena suaminya yang jahat.
Buat cewek gembeng di Malang sana, I always love you…
Merantau (1)
Aku gak ingat lagi tanggalnya. Yang aku ingat hanya harinya: Jumat. Diantar oleh salah satu tetangga terbaikku, Pak Tohari namanya, aku sampai di Landungsari, terminal di Kota Malang. Setelah bus Puspa Indah jurusan Jombang-Malang itu berlalu, aku naik angkot yang menuju kelurahan Purwodadi. Aku gak ingat angkot apa yang pertama kali aku naiki bersama Pak Tohari. Tapi yang jelas, aku diturunkan di kawasan Jalan Borobudur. Di situ kami mampir di sebuah warung soto ayam. Kami sarapan dengan lahapnya, meskipun rasanya aneh di lidah kami (maklum, belum terbiasa dengan masakan luar Ponorogo).
Perjalanan dilanjutkan dengan naik angkot ABG. Kami diturunkan di depan sebuah gapura “Kelurahan Purwodadi” di Blimbing. Belum sampai tujuan, kami jalan kaki sampai menemukan alamat Jl. Ikan Hiu No. Blablabla. Sang pengantar sudah tidak asing lagi dengan daerah itu, meskipun dia merasakan banyak yang berubah dari kawasan yang jauh lebih ramai dari tempat tinggalku itu. Pak Tohari memang lama tinggal di daerah itu. Dia pernah bekerja selama 5 tahun lebih di perusahaan kontraktor listrik yang tidak lain adalah tempat tujuan kami.
Setelah memencet bel di belakang pagar hijau itu, kami disambut dengan ramah oleh seorang wanita, yang belakangan kami kenal dengan Bu Towik. Pak Tohari mengenalkan diri. Setelah dijelaskan bahwa Pak Tohari adalah mantan karyawan CV. Blablabla, Bu Towik mempersilakan kami menunggu di luar. Kami diminta menunggu suaminya, karena dia adalah anak mantu dirumah itu, dan baru menikah setelah Pak Tohari resign, sehingga dia gak kenal dengan Pak Tohari, dan Pak Tohari pun tidak kenal dengan Bu Towik. Sebenarnya ada orang yang dikenal Pak Tohari, namanya Bu Prayit, sang mertua Bu Towik. Tapi berhubung beliau wanita, dia tidak kenal dengan semua karyawan di perusahaan kontraktor listrik milik suaminya. Pun karena sudah sangat lama Pak Tohari resign, sekitar lebih dari 10 tahun.
Akhirnya yang ditunggu datang. Pak Nonot, dengan ekspresi lupa-lupa ingat, menghampiri kami. Senyum khasnya, yang masih aku ingat sampai sekarang itu akhirnya melebar menjadi tawa setelah ingat dengan Pak Tohari. Tentu saja setelah melalui cerita yang panjang untuk mengobati ‘amnesia’ itu. Sesi selanjutnya adalah kangen-kangenan, sekaligus tanya jawab tentang perkembangan perusahaan pasca ditinggal Pak Tohari. Ternyata perusahaan itu sudah tutup sekitar tiga tahun lalu. Sepeninggal Pak Prayitno, yang dulu menjadi bosnya Pak Tohari, perusahaan itu mengalami kebangkrutan secara perlahan. Selain karena persaingan bisnis, juga karena sang penerus kurang bisa fokus karena banyak bisnis lain yang lebih menarik baginya.
Kembali ke konteks. Tujuan kami ke situ adalah sebuah ikhtiar. Usaha untuk mencarikan aku tempat tinggal selama di Malang. Dengan diterimanya aku di salah satu Universitas Negeri terbaik di Malang, mau tidak mau aku harus merantau. Tapi, ada banyak tapi yang seolah menghalangi. Orang tuaku mulai berpikir ulang untuk melepasku ke Malang. Apalagi kalau bukan karena biaya yang cekak. Dan sungguh berdosanya diriku waktu itu aku belum punya pikiran untuk mencari tempat tinggal lain selain dengan mengemis seperti ini.
Yang ada di pikiranku waktu itu hanyalah: “kalau memang orang tuaku tidak bisa membiayai kebutuhan primerku selama di Malang, aku mau bekerja saja. Pergi ke kakak sepupuku yang pialang TKI, dan bekerja entah di mana, dan pulang lagi untuk kuliah”.
Perjalanan dilanjutkan dengan naik angkot ABG. Kami diturunkan di depan sebuah gapura “Kelurahan Purwodadi” di Blimbing. Belum sampai tujuan, kami jalan kaki sampai menemukan alamat Jl. Ikan Hiu No. Blablabla. Sang pengantar sudah tidak asing lagi dengan daerah itu, meskipun dia merasakan banyak yang berubah dari kawasan yang jauh lebih ramai dari tempat tinggalku itu. Pak Tohari memang lama tinggal di daerah itu. Dia pernah bekerja selama 5 tahun lebih di perusahaan kontraktor listrik yang tidak lain adalah tempat tujuan kami.
Setelah memencet bel di belakang pagar hijau itu, kami disambut dengan ramah oleh seorang wanita, yang belakangan kami kenal dengan Bu Towik. Pak Tohari mengenalkan diri. Setelah dijelaskan bahwa Pak Tohari adalah mantan karyawan CV. Blablabla, Bu Towik mempersilakan kami menunggu di luar. Kami diminta menunggu suaminya, karena dia adalah anak mantu dirumah itu, dan baru menikah setelah Pak Tohari resign, sehingga dia gak kenal dengan Pak Tohari, dan Pak Tohari pun tidak kenal dengan Bu Towik. Sebenarnya ada orang yang dikenal Pak Tohari, namanya Bu Prayit, sang mertua Bu Towik. Tapi berhubung beliau wanita, dia tidak kenal dengan semua karyawan di perusahaan kontraktor listrik milik suaminya. Pun karena sudah sangat lama Pak Tohari resign, sekitar lebih dari 10 tahun.
Akhirnya yang ditunggu datang. Pak Nonot, dengan ekspresi lupa-lupa ingat, menghampiri kami. Senyum khasnya, yang masih aku ingat sampai sekarang itu akhirnya melebar menjadi tawa setelah ingat dengan Pak Tohari. Tentu saja setelah melalui cerita yang panjang untuk mengobati ‘amnesia’ itu. Sesi selanjutnya adalah kangen-kangenan, sekaligus tanya jawab tentang perkembangan perusahaan pasca ditinggal Pak Tohari. Ternyata perusahaan itu sudah tutup sekitar tiga tahun lalu. Sepeninggal Pak Prayitno, yang dulu menjadi bosnya Pak Tohari, perusahaan itu mengalami kebangkrutan secara perlahan. Selain karena persaingan bisnis, juga karena sang penerus kurang bisa fokus karena banyak bisnis lain yang lebih menarik baginya.
Kembali ke konteks. Tujuan kami ke situ adalah sebuah ikhtiar. Usaha untuk mencarikan aku tempat tinggal selama di Malang. Dengan diterimanya aku di salah satu Universitas Negeri terbaik di Malang, mau tidak mau aku harus merantau. Tapi, ada banyak tapi yang seolah menghalangi. Orang tuaku mulai berpikir ulang untuk melepasku ke Malang. Apalagi kalau bukan karena biaya yang cekak. Dan sungguh berdosanya diriku waktu itu aku belum punya pikiran untuk mencari tempat tinggal lain selain dengan mengemis seperti ini.
Yang ada di pikiranku waktu itu hanyalah: “kalau memang orang tuaku tidak bisa membiayai kebutuhan primerku selama di Malang, aku mau bekerja saja. Pergi ke kakak sepupuku yang pialang TKI, dan bekerja entah di mana, dan pulang lagi untuk kuliah”.
Langganan:
Postingan (Atom)