Rabu, 19 Desember 2012

Makan Tulang itu Gak Berarti Nggragas

Gue kalo makan ayam negeri, hampir bisa dipastikan tulang2nya habis (kemakan sama gue). Tergantung seberapa keras tulang itu. Kalo gigi gue masih bisa ngunyah, gue bakalan embat itu tulang. Ini yang gue omongin bukan ayam yang dipresto lho ya...tapi ayam yang dimasak konvensional. Temen-temen gue bilang gue nggragas. Gue malah nganggep ini sebagai tanda bersyukur. Lha iya dong, Tuhan menciptakan setiap makhlukNya kan pasti ada manfaatnya. Dan kalau suatu hewan (masa bodo dgn grammar) sudah ditetapkan halal, artinya tulangnya pun ikut halal. Kalau ada yang halal, dan bisa dimakan, ngapain dibuang? Bukankah membuang sesuatu yang bisa dimakan itu tanda gak bersyukur? Tapi gue gak mau nyalahin sebagian besar orang yang gak mau makan tulang lho ya...Yang gue salahin (baca: gue gak sependapat sama sekali) adalah orang yang gak mau makan kepala, ceker, atau bagian tertentu dari hewan yang halal, tapi dia menyertakannya waktu beli dan masak. Harusnya kalau gak mau (baca: gak doyan) itu waktu beli bilang dong sama penjualnya, biar gak disertakan. Jadi setelah masak gak ada yang disisain. Balik lagi ke tulang tadi. Tulang itu sebenarnya kan mengandung gizi yang lumayan juga. Setahuku sih ada kalsium, fosfor, dan lain-lain gitu deh (haha, sori gue udah lama gak bahasa biologi). Artinya, dengan makan tulang, tulang kita bisa kuat tanpa minum Anl*ene atau produk-produk lain yang katanya menjaga kesehatan tulang. Jadi, sampai sekarang gue masih berpendapat kalau makan tulang itu gak berarti nggragas. Ayo, yang merasa giginya masih kuat buat 'ngremus' tulang, makan tulang yuk. Tapi jangan sampai waktu beli kita pesan tulangnya doang lho ya...jangan sampai juga kita jadi kucing yang memelas minta tulang sama orang lain.